Cerita Rakyat Melayu Kisah Awang Garang Penguasa Laut Riau

Cerita Rakyat Melayu Kisah Awang Garang Penguasa Laut Riau
Cerita Rakyat Melayu Kisah Awang Garang Penguasa Laut Riau
Disadur dari Adicita Jogjakarta

Ratusan tahun silam, di Kepulauan Segantang Lada, Negeri Riau, hiduplah seorang anak laki-laki yatim piatu. Ia bernama Awang Garang. Cita-citanya ingin menjadi seorang pelaut hebat dan menjadi penguasa laut yang disegani.

Awang Garang masih berumur belasan tahun kala itu. Karena masih kecil si anak yatim piatu itu hanya menjadi tukang bantu koki di sebuah kapal dagang. Ia bekerja tanpa digaji asalkan diajak mengarungi lautan.

"Saya tak apa tak diupah, asalkan saya diperbolehkan turut mengarungi lautan, seperti impian saya selama ini," begitu ia berkata kepada kepala kokinya. Awang Garang bekerja dengan rajin dan tekun. Sehingga datuk dan batin pun amat menyukainya. Tak lama kemudian iapun naik jabatan menjadi awak kapal.

Pada masa itu kehidupan di laut sangatlah kelam dan kejam. Para bajak laut sadis, merampok kapal-kapal dagang dan menculik anak-anak gadis. Masyarakat Riau menyebut mereka dengan lanun.

Kisah Awang Garang Penguasa Laut Riau.


Makin lama para lanunpun makin merajalela. Mereka tak hanya merampok di laut namun juga di darat. Dengan bengis para lanun merusak kampung-kampung di Pesisir Riau. Mereka merampas harta benda penduduk.

Sultan Riau yang mendengar kabar itu sangat murka. Ia pun memerintahkan datuk dan batin untuk membuat kapal penjajap, yaitu kapal perang khas Negeri Riau. Sultan mempercayakan pembuatan penjajab itu kepada datuk dan batin di Temiang. Mereka adalah Moro Sulit, Sugi, Bulang, Pekaka, Sekanan dan Mepar. Setelah para datuk dan batin berembuk maka terpilihlah, sebuah pulau diantara Bulang Rempang dan Bintan sebagai tempat pembuatan penjajab itu.

Kapal penjajap, yaitu kapal perang khas Negeri Riau.

Mendengar kabar pembuatan penjajap tersebut Awang Garang ingin turut berpartisipasi. Ia yang sudah dikenal baik oleh para datuk dan batin diberi kesempatan untuk ikut serta. Sejak itu Awang Garang bekerja sebagai tukang kayu di mega proyek kapal perang tersebut.

Selang tiga bulan, pembuatan penjajap belum juga menampakkan tanda-tanda akan berhasil. Beragam kayu telah dicoba untuk membuatnya, mulai dari kayu medang tanduk hingga kayu medang tembaga. Namun tidak satupun kayu yang cocok.

Datuk dan batin mulai gusar karena takut sultan marah mendengar kegagalan tersebut. Ditengah kebuntuan dan usaha yang terus gagal, Awang Garang angkat bicara. "Pembuatan kapal perang harus menggunakan tiga jenis kayu yang berbeda," katanya lantang.
"Hai Awang Garang jangan mengajari kami cara membuat kapal," bantah seorang datuk.
"Mohon maaf datuk, tapi saya tahu cara membuat penjajab yang baik," tutur Awang Garang santun.
"Kalau begitu buktikanlah pada kami," ucap seorang batin yang tertarik pada ide Awang Garang.
"Tapi ingat!" Datuk yang pertama bicara tadi mengingatkan Awang Garang dengan setengah mengancam, "jika kamu gagal, maka kami akan memberimu hukuman berat."
"Baik datuk, saya bersedia," Awang Garang tidak gentar dengan ancaman Datuk tersebut.

Sejak itu mulailah Awang Garang memilih kayu-kayu yang menurutnya cocok. Ia dibantu oleh pekerja dan tukang kayu lainnya. Pertama, Awang Garang menggunakan kayu penaga untuk membuat kerangka dalam kapal. Sehingga jadilah sebuah kerangka yang sempurna. Kemudian, ia menggunakan kayu medang sirai untuk papan-papan kapal. Terakhir kayu keledang digunakan untuk membuat lunas kapal. Tiga bulan kemudian penjajab impian sultan itupun hampir selesai pengerjaannya.

Di istana. Sultan sangat senang mendengar kabar tersebut. Sultanpun menaikkan upah para pekerja berlipat ganda. Alangkah senangnya hati para pekerja, merekapun semakin giat bekerja.

Suatu hari Awang Garang mengawasi para pekerja kayu seperti biasanya. Naas baginya, sebuah tatal kayu tiba-tiba menghantam wajahnya, tepat di mata Awang Garang.

"Ya Allah, mataku!" Teriak awang Garang kesakitan. Darah segar mengalir diwajahnya. Karena kesakitan yang teramat sangat, Awang Garang tiba-tiba berteriak geram, "Ahk... Saya kutuk kapal ini tidak akan bisa diturunkan ke laut!"

Sejak hari itu Awang Garang tak lagi menjadi pengawas tukang kayu kapal perang tersebut. Ia pergi ke kampung halamannya. Matanya yang tak bisa lagi sembuh dan telah rusak sebelah tersebut ditutup memakai penutup mata berwarna hitam.

Dua bulan kemudian. Penjajap idaman sultan selesai sudah. Dari jauh tampak gagah dan tangguh, dari dekat terlihat sangat besar dan elok, terpoles licin. Hingga tibalah hari penurunan kapal tersebut ke laut. Namun apa daya kapal itu tetap diam ditempatnya. Datuk dan batin telah mengerahkan segenap tenaga yang ada, merekapun menyerah.

Seorang datuk tiba-tiba ingat pada Awang Garang. Ia pun kemudian mencari anak muda tersebut. Di rumah, Awang Garang kala itu sedang duduk di beranda.

"Assalamualaikum Awang Garang!"
Waalaikum salam datuk, marilah masuk ke gubukku ini," Awang Garang menjawab salam datuk tersebut.
"Sepertinya ada urusan yang mustahak sekali sehingga datuk sendirilah yang datang mengunjungi saya ke sini."
"Kamu tentu sudah tahu apa yang terjadi Awang Garang," ucap datuk tak sabar. "Kamulah yang telah mengutuk penjajab itu sehingga sekarang tak mahu diturunkan ke laut."
"Jadi apa mau datuk?" Awang Garang tetap tenang.
"Cabutlah kutukan itu dan turunkan kapal perang sultan ke laut, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Perompak semakin menjadi-jadi saja," Datuk menjelaskan maksud kedatangannya.
"Baiklah tapi saya mengajukan tiga syarat dan harus dipenuhi."
"Apa itu?" sahut datuk kepada Awang Garang tanpa banyak pikir.
"Sediakan 37 pemuda lengkap dengan peralatannya. Tujuh orang wanita yang tengah hamil anak sulung, berpakaian tujuh warna dan harus berasal dari keluarga datuk dan batin. Terakhir, datuk dan batin harus menyaksikan penurunan kapal itu dengan mata tertutup," jawab Awang Garang.
"Baiklah akan kami penuhi persyaratan itu."

Meskipun terdengar aneh, namun datuk tidak bertanya apa-apa kepada Awang Garang, karena takut pemuda yang telah kehilangan satu matanya itu berubah pikiran. Tak lama kemudian semua persyaratan terpenuhi sudah. Pada malam purnama ketika arus laut sedang pasang. Ritual penurunan kapal pun dimulai.
Seluruh datuk dan batin serta para undangan telah hadir. Mata mereka ditutup dengan secarik perca sehingga tidak bisa melihat apapun. 37 pemuda juga telah bersiap di tempat masing-masing. Awang Garang memberikan perintah kepada para pemuda tersebut dengan berbisik, sehingga tak seorang tamu pun bisa mendengarnya.

Tiba-tiba terdengar teriakan Awang Garang, "semua bersiap, satu dua tiga... Dorong!!!" Tak lama terdengarlah suara krak...krak...krak dari arah kapal besar tersebut.

Bersamaan dengan itu terdengar jeritan dan lolongan miris dari ketujuh wanita hamil sulung. "Ampun... Jangan lindas perut kami, tolooongg!" teriak mereka. Semua tamu yang matanya tertutup bergidik ngeri mendengar dan membayangkan apa yang sedang terjadi.

Tak lama kemudian, byuuurr... Terdengar bunyi berat diiringi getaran dari lunas kapal yang telah mencapai laut. Diiringi dengan suara tangisan bayi memecah malam. Para tamupun membuka penutup mata mereka dan terkejut dengan apa yang mereka lihat.

"Oh ternyata harus memakai galang," seru tamu yang hadir. "Iya, harus memakai kayu bulat licin yang telah dikupas kulitnya,ternyata pakai galang" sahut yang lain. Konon dari kata galang inilah nama Pulau Galang bermula.

Jadi Awang Garang menurunkan kapal dengan menggunakan kayu bulat yang telah dikupas kulitnya sehingga menjadi licin. Kemudian kayu-kayu yang disebut galang itu dideretkan berjejer di arah lintasan kapal. Sehingga kapal akan mudah digerakkan untuk di bawa ke laut. Sementara apa yang terjadi dengan wanita-wanita hamil sulung tak seperti yang dibayangkan para datuk dan batin. Wanita-wanita hamil sulung hanya diletakkan dilubang yang telah dibuat di bawah lunas kapal. Pada malam itu juga telah lahir tujuh bayi di bawah lunas kapal perang.

Delapan belas tahun kemudian. Ketujuh bayi yang lahir dulu telah menjadi panglima perang penumpas para lanun. Mereka diberi gelar sesuai dengan warna pakaian ibunya kala itu, seperti Panglima Awang Merah, Panglima Awang Jingga, Panglima Awang Kuning, Panglima Awang Ungu, Panglima Awang Hijau, Panglima Awang Biru dan Panglima Awang Nila.

Ketujuh panglima tersebut menjadi satu kesatuan di kapal perang pimpinan Awang Garang, yang sekarang telah disegani di laut dan di darat. Ia diberi gelar Panglima Hitam Elang di Laut Bermata Satu.

Pulau Galang kemudian dikenal juga sebagai perkampungan bekas pengungsi Vietnam. Pulau Galang juga termasuk ke dalam tiga pulau yang dihubungkan oleh jembatan Barelang, yaitu Batam, Rempang dan Galang.
(Disadur dari Cerita Rakyat Riau, penerbit Adi Cita Jogjakarta)

Cerita Rakyat Melayu Si Lancang