Cerita Rakyat Melayu Riau: Si Jangoi

Si Jangoi merupakan salah satu cerita rakyat Melayu yang cukup terkenal di daerah Kepulauan Riau, khususnya daerah Kota Penyengat yang cukup bersejarah. Di dalam Sejarah Kerajaan Riau-Lingga, Pulau Penyengat diketahui merupakan hadiah Mas Kawin dan Sultan Mahmud kepada Engku Putri atau Raja Hamidah. Sekaligus juga pada tahun 1808 M menjadi pusat pemerintah Kerajaan tersebut. Konon kisahnya di pulau tersebut banyak sejenis binatang penyengat seperti lebah. Hingga kemudiannya pulau itu diberi nama Penyengat.

Jangoi, menurut pengertian dalam bahasa Melayu adalah nakal, atau bisa diartikan sebagai anak yang nakal. Syahdan, di negeri Pulau Penyengat, masyarakatnya hidup bahagia dan aman. Masyarakatnya ramah tamah, bersopan santun, dan saling kasih mengasihi antara satu sama lainnya Akan tetapi kondisi kehidupan masyarakat Pulau Penyengat akhirnya terganggu setelah kehadiran seorang anak yang bernama si Jangoi tersebut. Jangoi merupakan julukan untuk anak yang nakal, yang suka mengusik orang. Apalagi mengusik anak dara, tak perduli pagi, siang, petang ataupun malam. Di saat orang menjaring, Jangoi pun suka merusak jaring orang. Pendek kata ada saja hal usil yang dilakukan oleh si jangoi untuk mengganggu orang lain. Begitulah sifat si Jangoi yang selalu nakal dan jahat kepada orang lain.

Pernah suatu ketika karena merasa sangat geram dengan tingkah si Jangoi, orang kampung menangkapnya dan lalu mengikatkan si Jangoi ke sebuah pohon. Orang-orang pun heran, entah bagaimana caranya si Jangoi tetap bisa melepaskan diri dari ikatan tersebut. Padahal ikatan yang dililitkan ke tubuh si Jangoi sangat kuat, namun anak nakal itu tetap bisa melepaskan diri dari ikatan. Namun anehnya, setelah lepas dari ikatan tersebut, si Jangoi pun menghilang.

Setelah si Jangoi menghilang, untuk sejenak keadaan kampung menjadi sedikit lebih aman. Tak terdengar lagi orang-orang kampung yang diganggu. Namun kondisi itu ternyata tidak bertahan lama. Entah dari mana, tiba-tiba si Jangoi muncul kembali. Bahkan kali ini kelakuannya lebih jahat. Si Jangoi sekarang tidak hanya suka mengganggu ataupun mengusik, tapi dengan sengaja mengejar-ngejar anak-anak perempuan ataupun anak dara yang mau pergi atau pulang dari mengaji. Sehingga sebagian dari anak-anak dara ataupun anak-anak takut pergi untuk mengaji.

Bahkan pada suatu ketika, di suatu malam si Jangoi yang nakal bersembunyi pada sebuah pohon yang rimbun, ia memakai pakaian putih, layaknya mayat yang baru keluar dari liang kubur. Entah mukena siapa pula yang dicurinya. Begitu orang-orang pulang dari surau dan melewati pokok rimbun itu, Jangoi pun keluar dengan melompat-lompat layaknya sebagai lembaga atau hantu. Maka berhamburan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan orang-orang itu, khususnya orang perempuan dan anak-anak.

Orang-orang kampung akhirnya marah dengan kelakuan si Jangoi yang kian menjadi-jadi. Mereka pun mulai berpikir mencari cara bagaimana menghentikan sikap nakal si Jangoi yang sudah melampaui batas. Maka dicarilah waktu yang tepat untuk bisa menangkap si Jangoi. Mereka pun mengintai dan bersembunyi menunggu waktu si Jangoi lengah. Akhirnya tibalah waktu si Jangoi lengah. Ia pun ditangkap dan diikat kembali di sebuah pohon. Namun kali ini ia ditunggui oleh orang dewasa sehingga ia tak bisa melarikan diri. Namun ternyata usaha tersebut juga tetap gagal. Si Jangoi pun tetap bisa lepas dan melarikan diri. Ia kembali membuat kerusuhan. Bahkan sekarang bukan lagi anak-anak dan perempuan yang diganggunya. Orang tua pun turut diganggu si Jangoi.

Melihat kondisi tersebut, akhirnya masyarakat dan para kepala suku melakukan musyawarah untuk mengatasi masalah si Jangoi. Orang-orang sepakat untuk menangkap si Jangoi terlebih dahulu, terlepas usaha apa nanti yang akan dilakukan. Setelah ditangkap, orang-orang pun bertanya kepada si Jangoi bagaimana cara menghentikan kelakuan Jangoi. Ketua suku mengancam akan membakar si Jangoi. Jangoi ketakutan, namun dia malah berkata. “Jangan bakar aku, karena itu tak akan membuat aku mati. Aku hanya akan menderita. Jika hendak membunuhku maka potonglah tubuhkan menjadi tiga bagian.”

Orang-orang akhirnya membunuh si Jangoi namun tidak dengan arahan si Jangoi. Akhirnya setelah dibunuh si Jangoi hidup kembali dan menjadi manusia minyak. Kelakuannya kian menjadi-jadi. Dan akhirnya masyarakat pun sadar bahwa mereka memang harus mengikuti perintah si Jangoi. Akhirnya ditangkaplah kembali si Jangoi dan tubuhnya dipotong menjadi tiga bagian. Kepala Jangoi di tanam di Pulau Los, badannya di tanam di Pulau Penyengat, sedangkan kakinya di tanam di Pulau Paku. Dan semenjak saat itu, si Jangoi tak pernah lagi muncul mengganggu kampung.