Prof. Soetandyo, Hati Nurani, dan Facebook


Oleh: Daru Priyambodo*

Saya masih ingat hari itu, hari pertama  kuliah Sosiologi Hukum. Seperti kebanyakan mahasiswa sosiologi lain, saya belum tahu kelas mata kuliah pilihan ini sebetulnya tentang apa. Yang saya tahu, pengajarnya adalah Dekan kami ketika itu, Prof Soetandyo Wignjosoebroto, MPA. Agak heran, memang, karena di semester awal seperti ini, seorang professor, dekan, mengajar mahasiswa semester awal.

Kelas dimulai tepat waktu. Pak Tandyo meletakkan tas dan buku-bukunya di meja, lalu menyapukan pandangannya ke mahasiswa. Ia memperbaiki kacamatanya, lalu berkata: “Selamat pagi. Saya ingin tahu. Adakah kalian pernah mendengar istilah ‘Walau langit runtuh hukum harus dijunjung’?

Seluruh kelas hening. Lalu, seorang mahasiswa mengacungkan tangan. “Pernah, Pak. Artinya, hukum adalah segala-galanya. Kita harus menegakkan hukum apa pun yang terjadi.”

Pak Tandyo tersenyum. “Bagus,” katanya. “Pernahkah kalian naik sepeda motor di jalan Tunjungan?” (Jalan Tunjungan adalah jalan protokol utama di Surabaya).
“Pernah, Pak… ,” seru mahasiswa yang lain.
“Baik. Pernahkah kalian melihat, polisi yang berjaga menyuruh semua motor dan mobil bergegas agar traffic light di depan yang sudah menyala kuning tidak keburu berganti merah?”
“Pernaaaah Pak…” seru mahasiswa lagi.
“Nah…tahukah kalian mengapa polisi menyuruh semua bergegas?”
“Agar jalanan tak keburu macet gara-gara mobil dan motor terlalu pelan Pak,” kata satu mahasiswa lagi.
“Nah, sadarkah kalian bahwa polisi dan kalian semua yang mau bergegas telah melanggar hukum? Bukankah lampu kuning berarti pengendara harus siap-siap berhenti, bukannya malah ngebut?”

Seluruh kelas terdiam. Lalu, dengan suaranya yang lembut, Pak Tandyo meneruskan: “Polisi itu salah di mata hukum. Dia malah menyuruh pengendara melanggar peraturan lalu-lintas. Tapi jika dia tidak lakukan itu, antrean kendaraan di lampu marah akan sangat panjang. Jalanan makin macet. Apakah kalian akan menjunjung tinggi hukum dengan tetap berjalan pelan walau polisi sudah menyuruh bergegas?”

Kelas kembali hening. Pelan-pelan, kami menyadari, Pak Tandyo baru saja memberi inti dari ilmu sosiologi hukum yang sangat penting: Bahwa hukum, bisa saja tak sesuai dengan keadaan. Jika semua kendaraan di Jalan Tunjungan berjalan pelan, 40 kilometer per jam sesuai peratuan, pasti bukan ketertiban yang terjadi. Jalan akan macet karena semua berjalan pelan. Justru ketika peraturan tentang batas kecepatan itu “dilanggar”, lalu lintas  lebih lancar. “Pak polisi berjasa justru karena dia menyuruh kita semua melanggar aturan. Tapi dia melakukan hal yang benar,” kata Pak Tandyo lagi.

Sungguh contoh yang sangat sederhana, namun membekas pada saya hingga sekarang. Pak Tandyo mengajari kami untuk selalu bersikap kritis terhadap hukum, tidak mendewakannya, apalagi mendewakannya secara membuta “walau langit runtuh”.

Bertahun kemudian, adegan di kelas itu terputar ulang di benak saya ketika Pak Tandyo menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award (2011). Makarim Wibisono, ketua Yayasan Yap Thiam Hien, dalam sambutannya saat menyerahkan penghargaan, menyebut Pak Tandyo layak mendapat penghargaan itu karena selalu menyuarakan bahwa seorang hakim harus arif dalam memutus perkara.

”Dengan begitu,  keadilan tidak terletak pada undang-undang namun pada hati nurani,” kata Makarim mengutip prinsip hidup Pak Tandyo.

Hati nurani, betapa mahalnya kata itu di tengah iklim hukum kita saat ini. Ketika begitu banyak hakim ditangkap KPK karena menerima suap, ketika para pengacara dengan cara yang kampungan marah pada Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana akibat pernyataannya yang menyebut pengacara pembela membabi-buta para koruptor sebetulnya juga koruptor, saya sungguh merindukan sosok Pak Tandyo.

Kadang kerinduan itu saya lampiaskan dengan membaca berbagai status Pak Tandyo di Facebook. Saya kagum bahwa Pak Tandyo, dalam usia selanjut itu, ternyata sangat aktif di jejaring sosial ini.

Lebih kagum lagi karena status-statusnya yang selalu bernas, kritis, tidak sok jaim (jaga image), sering juga lucu. Tanggal 17 Agustus 2012 lalu, misalnya, Pak Tandyo menulis status ihwal adanya kelompok yang merayakan Lebaran mendahului jadwal resmi:

Jama’ah Nasbandiyah Sumbar sudah mengakhiri puasa dan berlebaran hari ini. Mereka punya metode tersendiri untuk menentukan jatuhnya hari raya idulfitri. Siapa bisa melarang? Keyakinan mana bisa dilarang?

Dalam status pendek itu, Pak Tandyo dengan gamblang menyatakan sikapnya: Bahwa keyakinan tak bisa dilarang. Biarlah orang menjalankan keyakinannya, selama itu tidak merusak. Lewat status itu, Pak Tandyo seolah ingin terus mengabarkan betapa pentingnya toleransi dan menghargai keyakinan orang.

Tapi Pak Tandyo juga orang yang tak pernah bisa mentoleransi kebobrokan. Untuk soal ini, dia bisa galak. Ini misalnya terlihat dalam statusnya menanggapi pernyataan Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang menyebut KPK sebagai garong karena menggeledah arsip bukti korupsi di Korps Lalu Lintas Polri:
Garong itu kalau orang jahat menguras habis isi rumah orang baik-baik. Kalau orang baik-baik dan punya wewenang nguras arsip isi kantor koruptor … ya nanti dulu, … hati-hati bicara dengan kata-kata yang tak bermanfaat (15 Agustus 2012)

Namun Pak Tandyo tak hanya peka dengan soal-soal berat. Untuk soal-soal ringan, professor satu ini bisa sangat gaul. Dulu kami mahasiswanya sering dibuat bengong dengan kefasihannya pada trend anak muda. Di tahun 1980-an, misalnya, dia dengan fasih mengutip lirik grup band yang sedang ngetop saat itu, New Kids On The Block.

Pak Tandyo juga sama sekali bukan tipe dosen jaim (jaga image). Dia dengan ringan bisa ikut nimbrung di kelompok mahasiswa yang sedang kongkow di kantin. Dengan cepat, percakapan pun mengalir, meski topiknya adalah hal-hal yang sama sekali jauh dari soal akademis.

Kelak, tradisi egaliter tanpa jarak ini menjadi ciri para dosen di kampus yang dia dirikan, FISIP Universitas Airlangga. Di kampus ini, dengan mudah bisa ditemui mahasiswa bergerombol di taman, duduk melingkari dosen yang memberi kuliah di ruang terbuka.

Tradisi berdebat di kelas pun selalu dia dorong, termasuk untuk mendebat materi kuliah yang disampaikan dosen. Kadang saya berpikir, mungkin tradisi ini juga yang ikut melahirkan sikap kritis para mahasiswa. Maka, di masa pergerakan mahasiswa menjatuhkan Soeharto dulu, banyak anak FISIP Unair bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, ditangkap, bahkan ada yang diculik.

Nopember tahun 2013 ini Pak Tandyo mestinya genap berusia 81 tahun. Usia yang sudah sangat “sepuh” untuk ukuran rata-rata. Namun hingga beliau wafat tanggal 2 September 2013, saya tak pernah melihat keuzuran pada dirinya. Semasa beliau masih sehat, meski sudah lama sekali tak bertemu, saya selalu mengikuti aktivitasnya dalam berbagai pemberitaan. Dan bila membuka Facebook, selalu saya sempatkan mampir melihat laman miliknya. Di situ, di foto profilenya, wajah sepuh itu masih terlihat cerah.  Begitu pula senyumnya.

Dan saya masih tersenyum membaca statusnya. Andai kita membaca statusnya tanpa melihat siapa yang menulis, pasti kita merasa itu ditulis oleh seorang anak muda yang penuh semangat. Tak hanya semangat, bahkan “kegalauan ala anak muda” pun tak segan-segan dia tulis di lamannya. Beliau menulis status tentang buah Melon di kebun mertuanya, lengkap dengan foto close up buah yang masih tergantung di batangnya:

Ini lagi close up gambar Melon di kebun mertua. Bibit diperoleh dari buah aslinya yang dibeli di took buah, 6 bulan yang lalu harga Rp 40 ribu sekilo. (20 Agustus 2012)

Bagi saya, itulah kehebatan Pak Tandyo. Dia seorang akademikus hebat, namun bukan orang yang sok akademis. Dia konsisten memperjuangkan hak asasi, namun tidak dengan cara “sloganistis”, apalagi pamflet. Dia adalah orang yang apa adanya, justru karena itu pemikirannya mudah menancap di benak.

Selamat jalan Pak Tandyo. Kami akan selalu mengenang ajaranmu. Suatu ketika nanti, kami akan membawa anak-anak kami ke Jalan Tunjungan. Kami akan mengajak mereka melihat “pelanggaran hukum” di sana, lalu bercerita bahwa pernah ada seorang profesor yang begitu sederhana hidupnya, namun sangat kaya ilmunya.

Daru Priyambodo, murid Pak Tandyo 1982-1987, kini Pemimpin Redaksi Tempo.Co. Versi asli naskah ini pernah dimuat dalam buku Pak Tandyo the Last Samurai yang diterbitkan pada 2012 untuk mengenang 80 tahun Prof Soetandyo


Foto: jawatimuran.wordpress.com