Tebar Garam Biar Hujan, Kok Bisa?

Kebakaran berkepanjangan di Provinsi Riau menyebabkan Bumi Lancang Kuning ini dikepung asap hingga berminggu-minggu. Kondisi ini diperparah dengan musim kemarau yang melanda sehingga api yang membara tidak kunjung padam. Padahal kebanyakan lahan yang terbakar merupakan lahan gambut yang susah padam jika tidak tersiram air hujan.


Asap yang ditimbulkan ternyata tidak hanya mengepung Riau, negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura juga terkena imbasnya setiap tahun. Indonesia menjadi terkenal sebagai pengekspor asap setiap tahun ke negeri tetangga. Akhinrya nama baik bangsa jugalah yang dipertaruhkan karena kebakaran ini.

Pemerintah  Provinsi Riau akhirnya kewalahan menunggu hujan yang tak juga kunjung datang. Akhirnya hujan buatan menjadi salah satu cara yang dilakukan untuk memadamkan api kebakaran. Hujan buatan ini dilakukan dengan menaburkan garam hingga berton-ton dari ketinggian 4000-7000 kaki. Lalu mengapa garam bisa membuat hujan? berikut ini ulasannya.

Hujan buatan pertama kali dilakukan pada tahun 1946 oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir. Cara ini kemudian dilanjutkan oleh Bernard Vonnegut pada  1947. Sebenarnya hujan buatan ini merupakan cara manusia menciptakan peluang hujan dan mempercepat terjadinya hujan.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain glasiogenik, berupa Perak Iodida (AgI) sebagai bahan untuk “membentuk” es. Sedangkan bahan untuk “menggabungkan” butir-butir atmosphere di awan, dikenal dengan higroskopis, berupa garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl), atau CaCl2 dan Urea.

Garam-garam yang sudah disebarkan ke udara memiliki sifat fasis tertentu. Seperti NaCl dan CaCl2 bila bereaksi dengan atmosphere dapat mengeluarkan panas, sedangkan urea dapat menyerap panas. Karena itu waktu disebar di udara akan timbul reaksi sebagai berikut:
NaCl + H2O —- ion-ion + 910 K Cal (eksoterm)
CaCl2 + H2O — ion-ion + 915 K Cal (eksoterm)
Urea + H2O —- ion-ion – 425 K Cal (endoterm)

Sifat garam-garam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Sifat NaCl (garam dapur): berbentuk kristal, mudah larut dalam atmosphere (36 g/100 ml atmosphere daripada 20°C), dalam bentuk bubuk bersifat higroskopis, banyak terdapat di udara (dari atmosphere laut), campuran NaCl dengan es cair mencapai -20°C. Sedangkan CaCl2 adalah berbentuk kristal.

Garam dapur yang dimaksud bukanlah garam meja, namun garam yang mempunyai sifat higroskopis yang jauh lebih besar daripada garam meja, sehingga garam meja tak dapat digunakan.

Butuh perhitungan yang tepat saat akan menyebarkan berbagai bahan-bahan diatas. Dengan perhitungan faktor arah angin dan kecepatannya yang akan membawa awan ke daerah sasaran. Penyebaran NaCl dan CaCl2 hendaknya dilakukan pada pagi hari sekitar 07.30, dengan perhitungan karena pembentukan awan berlangsung pada pagi hari (dengan memperhatikan terjadinya penguapan).

Penyebaran bubuk urea biasanya dilakukan sekitar pukul 12.00, dengan perhitungan awan dalam kelompok-kelompok kecil telah terbentuk, sehingga memungkinkan penggabungan awan dalam kelompok besar. Kelompok awan besar yang dimaksud yang dasarnya tampak kehitam-hitaman.

Saat awan besar dengan dasar yang kehitam-hitaman terbentuk, sekitar pukul 15.00 dilakukan penyebaran larutan campuran yang telah dikemukakan di atas. Perhitungannya pada jam-jam tersebut awan telah terbentuk.

Perhitungan lainnya yang harus diperhatikan adalah faktor cuaca yang memenuhi persyaratan, yaitu yang mengandung uap atmosphere dengan kelembapan minimal 70%. Kelembapan harus memadai sehingga waktu inti kondensasi (NaCl dan CaCl2) disebarkan akan segera terjadi kondensasi. Kecepatan angin juga di daerah itu sekitar 10 knots dan tak terdapat lapisan inversi di udara.

Jadi kesimpulannya untuk mempercepat turunnya hujan buatan dengan memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi (garam-garaman NaCl dan CaCl2) pada waktu yang tepat.

Sementara itu di provinsi Riau, Satuan Tugas Tanggap Darurat Bencana Asap Riau menyebarkan sekitar 25 ton garam untuk modifikasi cuaca hujan buatan dalam pemadaman kebakaran lahan dan hutan di Riau.